paalmerah.com – Partai politik di Indonesia memiliki kecenderungan untuk mengganti calon legislatif yang telah terpilih sebelum pelantikan mereka, lebih sering daripada mengganti setelah mereka resmi dilantik. Dalam konteks pemilihan umum di Indonesia, partai politik berfungsi sebagai representasi utama yang membawa calon legislatif untuk bersaing dalam mendapatkan kursi di parlemen. Keberadaan partai politik sangat penting dan menjadi salah satu pilar utama dalam mendukung sistem demokrasi. Posisi mereka tidak hanya krusial, tetapi juga strategis dalam pelaksanaan pemilihan umum, di mana mereka bertindak sebagai jembatan yang menghubungkan masyarakat dengan kandidat pemimpin atau wakil rakyat.
Hal ini menunjukkan bahwa partai politik merupakan syarat yang harus dipenuhi agar calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dan DPRD kabupaten atau kota dapat diusulkan dan dipilih dalam pemilu. Dengan demikian, peran partai politik dalam proses demokrasi sangat vital, baik dalam menentukan siapa yang akan mewakili rakyat di parlemen maupun dalam menjaga keberlanjutan sistem pemerintahan yang demokratis.
Namun, di dalam Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1349 Tahun 2024 Tentang Perubahan Ketiga Atas Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1206 Tahun 2024 Tentang Penetapan Calon Terpilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Pemilihan Umum Tahun 2024, terdapat perubahan signifikan yang berhubungan dengan pengaturan dan penetapan calon terpilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Perubahan ini merupakan yang ketiga kalinya dari Keputusan KPU sebelumnya, yaitu Nomor 1206 Tahun 2024. Fokus utama dari keputusan ini adalah untuk menanggapi situasi terkini yang mengharuskan penggantian beberapa anggota DPR yang telah terpilih dalam Pemilihan Umum Tahun 2024.
Penggantian ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk meninggal dunia, dimana beberapa anggota tersebut tidak lagi mampu menjalankan tugasnya karena telah meninggal.
Lebih jauh lagi, adanya Keputusan Komisi Pemilihan Umum yang tertuang dalam Nomor 1349 Tahun 2024 mengenai perubahan ketiga atas keputusan sebelumnya, yakni Nomor 1206 Tahun 2024, menekankan pentingnya melakukan penggantian anggota DPR yang terpaksa diberhentikan dari partai politik asalnya. Situasi ini menjelaskan bahwa ketika seorang anggota DPR tidak lagi memiliki dukungan dari partainya, status mereka menjadi tidak layak untuk mempertahankan posisinya di dalam lembaga legislatif. Secara keseluruhan, semua perubahan dan keputusan ini diharapkan mampu memberikan kejelasan serta kepastian dalam struktur pengurus DPR Republik Indonesia. Dengan demikian, diharapkan lembaga ini dapat terus berfungsi secara efektif dan efisien, mencerminkan harapan serta aspirasi masyarakat yang diwakilinya. Penataan yang baik dalam struktur kepengurusan DPR adalah langkah penting untuk menjaga kepercayaan publik dan menjamin bahwa wakil rakyat tetap menjalankan tugas mereka dengan penuh tanggung jawab.
Sebagai contoh, Anggota DPR RI yang mengalami penggantian dengan alasan diberhentikan dari keanggotaan partai politik yang mereka ikuti, kini mengambil langkah hukum dengan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri. Dalam hal ini, terdapat dua anggota DPR terpilih untuk periode 2024-2029 dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yaitu Achmad Ghufron Sirodj dan Irsyad Yusuf. Keduanya melayangkan gugatan yang ditujukan kepada Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar, yang lebih dikenal dengan sebutan Cak Imin.
Gugatan yang diajukan oleh Achmad Ghufron Sirodj telah terdaftar resmi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor perkara 566/Pdt.Sus-Parpol/2024/PN.Jkt.Pus. Sementara itu, gugatan yang diajukan oleh M. Irsyad Yusuf juga telah terdaftar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor perkara 567/Pdt.Sus-Parpol/2024/PN.Jkt.Pus. Melalui langkah ini, para anggota DPR yang bersangkutan berusaha untuk mempertahankan posisi mereka dan menuntut kejelasan terkait keputusan partai yang mempengaruhi keanggotaan mereka di lembaga legislatif. Dengan mengajukan gugatan, mereka berharap untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan hukum atas situasi yang mereka hadapi. Tindakan ini mencerminkan dinamika yang terjadi dalam struktur partai politik di Indonesia serta bagaimana hal itu berdampak pada individu yang terlibat dalam proses legislatif.
Perubahan sistem pemilu dari proporsional tertutup menuju sistem proporsional terbuka mencerminkan upaya yang kuat untuk meningkatkan partisipasi politik di kalangan masyarakat. Dengan sistem baru ini, pemilih diberikan kesempatan untuk secara langsung memilih calon anggota legislatif yang mereka inginkan, yang tercantum dalam surat suara, alih-alih hanya memilih partai politik secara keseluruhan. Hal ini diharapkan dapat memberikan lebih banyak kekuatan kepada individu dalam menentukan siapa yang akan mewakili mereka, sehingga menciptakan hubungan yang lebih langsung antara pemilih dan wakil mereka di lembaga legislatif. Namun, semangat untuk meningkatkan partisipasi politik ini seharusnya diiringi dengan reformasi yang mendalam dalam struktur dan fungsi partai politik itu sendiri.
Walaupun sistem yang ada saat ini dapat dikatakan telah mengalami kemajuan yang signifikan secara normatif, perilaku dan praktik partai politik belum sepenuhnya sejalan dengan perubahan ini. Partai politik seringkali masih menunjukkan dominasi yang sangat besar dalam proses politik, yang dapat menghambat inovasi dan partisipasi aktif dari masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan langkah-langkah strategis yang jelas untuk memastikan bahwa reformasi ini tidak hanya bersifat permukaan, tetapi juga menyentuh aspek mendalam dari praktik politik dan perilaku partai. Dengan cara ini, aspirasi untuk menciptakan sistem politik yang lebih inklusif dan responsif terhadap keinginan rakyat akan dapat tercapai, menjadikan proses demokrasi lebih berarti bagi setiap individu.
Selain itu juga, dalam Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2024, terdapat tiga situasi dimana seorang calon terpilih dapat dianggap tidak memenuhi syarat untuk menduduki jabatannya. Pertama, seorang calon terpilih dianggap tidak memenuhi syarat jika terbukti masih menjabat sebagai kepala daerah, kepala desa, atau sebagai perangkat desa.
Hal ini juga berlaku bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), anggota TNI dan Polri, serta individu yang menjabat sebagai direksi, komisaris, pengawas, atau karyawan di badan usaha milik negara maupun daerah, atau badan lain yang mendapatkan dana dari anggaran negara.
Kedua, status terpidana juga menjadi pertimbangan. Apabila calon terpilih berstatus sebagai terpidana, kecuali dalam hal di mana yang bersangkutan tidak sedang menjalani hukuman penjara, maka ia tidak dapat dianggap memenuhi syarat. Ketiga, calon terpilih yang diberhentikan atau yang memilih untuk mundur dari partai politik yang mendukungnya juga akan kehilangan kelayakan untuk menjabat. Ini menunjukkan bahwa partai politik memiliki wewenang untuk meminta calon terpilih untuk mundur atau untuk mengajukan pengunduran diri mereka, dengan syarat bahwa alasan yang diajukan dapat dibenarkan secara hukum dan memiliki dasar penalaran yang logis. Namun, ada kekosongan dalam hal kerangka hukum yang jelas mengenai apa yang dianggap sebagai alasan yang sah untuk memberhentikan atau meminta calon terpilih mundur dari partai politik. Prosedur dan mekanisme yang diperlukan untuk proses ini masih belum terdefinisi secara jelas sehingga menciptakan ketidakpastian bagi calon terpilih dan partai politik yang bersangkutan.
—
Vevryka Mayasari (P2B123054) Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas Jambi, 2024.
Discussion about this post